Way Kanan - Beritaindoterkini.com– Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengkaji ulang aturan distribusi liquefied petroleum gas (LPG) 3 kilogram (kg).
Salah satunya yakni terkait pengaturan LPG 3 kg satu harga di masing-masing Provinsi.
Wakil Menteri ESDM Yuliot Tanjung mengatakan kebijakan tersebut bertujuan agar tidak ada kesenjangan bagi masyarakat yang membeli LPG 3 kg.
“Itu nanti untuk setiap provinsi jadi ditetapkan itu satu harganya. Misalnya itu ada yang Rp 14.000, ada yang Rp 15.000,” tuturnya di Gedung DPR RI, dilansir pada Jumat (06/07/2025).
Menurutnya, besaran harga tersebut tergantung transportasi dan pihaknya akan melakukan evaluasi untuk setiap provinsi.
Lebih lanjut, Yuliot menjelaskan aturan tersebut akan termuat dalam revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 104 Tahun 2007 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Penetapan Harga LPG Tabung 3 Kg.
Adapun ia menyebut pihaknya menargetkan aturan tersebut bisa diimplementasikan pada tahun 2026 mendatang.
Dia menjelaskan bahwa skema yang dijalankan nantinya mirip dengan skema BBM non subsidi Pertamax.
Di mana harga LPG di setiap daerah akan ditentukan berdasarkan biaya transportasinya.
Menurutnya, harga yang ditetapkan pemerintah itu justru range-nya sangat tinggi.
Ada daerah yang harga LPG-nya mencapai Rp50 ribu per tabung, padahal pemerintah menetapkan HET misalnya Rp14 ribu.
Sebelumnya, Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyampaikan usulan kebijakan tersebut saat Rapat Kerja bersama Komisi XII DPR RI.
“Kami akan mengubah beberapa metode agar kebocoran ini tidak terjadi, termasuk harga yang selama ini diberikan kepada daerah. Kita dalam pembahasan Perpres, kita tentukan saja satu harga supaya jangan ada gerakan tambahan di bawah,” ujarnya,mingu (06/07/2025).
Bahlil berharap aturan tersebut dapat menyederhanakan rantai pasok dan memastikan subsidi tepat sasaran ke pengguna yang berhak menerima LPG.
Sehingga harga di konsumen akhir tidak lagi bervariasi secara berlebihan antarwilayah serta sesuai dengan alokasi yang ditetapkan pemerintah, yaitu jumlah konsumsi per pengguna.
Salah satu faktor utamanya adalah adanya ketidakseimbangan antara anggaran subsidi yang disediakan negara dengan realisasi di lapangan.
Bahkan hal tersebut dapat membuka celah kebocoran kuota dan rantai pasok yang panjang.
Bahlil mengatakan jika harganya dinaikkan terus maka harapan negara tidak akan sinkron dengan apa yang terjadi.
Joni,